Pasar Nusukan berlokasi di Jl. Kapten P. Tendean Nusukan, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Pasar yang terletak di bagian utara  kota Surakarta ini didirikan pada tahun 1958. Setelah mengalami beberapa kali renovasi, pada tahun 1986 ada perubahan luas lahan dari hasil pembebasan tanah kantor Kelurahan dan Gedung Bioskop Nusukan. Pada tahun 2004 Pasar Nusukan mengalami musibah kebakaran dan dibangun kembali pada tahun 2006.

Pasar Nusukan
Pasar Nusukan

Pasar Nusukan menyediakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan pangan maupun sandang. Ativitas pasar dimulai dari dini hari hingga malam. Pedagang sayur-mayur kebanyakan datang dari luar kota Solo seperti Boyolali, Sragen, Purwodadi dan Karanganyar.

Pasar Nusukan

PURA MANGKUNEGARAN dibangun pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambar Nyawa, setelah penandatanganan Perundingan Salatiga pada tanggal 13 Maret. Raden Mas Said kemudian menjadi Pangeran Mangkoe Nagoro I. Istana Mangkunegaran terdiri dari dua bagian utama : pendopo dan dalem yang diapit oleh tempat tinggal keluarga raja. Hal yang menarik adalah keseluruhan istana dibuat dari kayu jati yang bulat/utub.

PENDOPO adalah Joglo dengan empat saka guru (tiang utama) yang digunakan untuk resepsi dan pementasan tari tradisional Jawa. Ada seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Kanyut Mesem. Gamelan yang sebagaian besar masih lengkap ini dimainkan pada hari-hari tertentu untuk mengiringi latihan tarian tradisional. Di dalam DALEM terdapat Pringgitan, ruang dimana keluarga menerima pejabat. Ruangan ini juga digunakan untuk mementaskan wayang kulit. Di dalam pringitan, ada beberapa lukisan karya Basuki Abdullah, pelukis kenamaan Solo.

Dalem juga digunakan untuk memajang berbagai koleksi barang peninggalan berharga yang bernilai seni dan sejarah yang tinggi. Terdapat koleksi topeng-topeng tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, kitab-kitab kuno dari jaman Majapahit dan Mataram, koleksi berbagai perhiasan emas dan koleksi beberapa potret Mangkunegoro.

Pura Mangkunegaran juga memiliki perpustakaan yang disebut Rekso Pustoko. Koleksi topeng tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Jogjakarta, Cirebon, Madura dan Bali.
Beberapa koleksi topeng dari China. Pengunjung dapat memperoleh berbagai souvenir dan cinderamata di Pare Anom art shop. Pura Mangkunegaran dibuka untuk umum setiap hari jam 09.00-14.00, Jumat jam 09.00-12.00, Minggu jam 09.00-14.00. Ada juga beberapa koleksi kereta yang digunakan untuk upacara-upacara tradisional

sumber : http://surakarta.go.id/konten/pura-mangkunegaran-0

Pura Mangkunegaran

Pasar Kadipolo berlokasi di jalan Dr. Rajiman, Kalurahan Panularan, Kecamatan Laweyan Kota Surakarta yang berada diatas lahan seluas lebih kurang 1.500 m2.

Pasar Kadipolo dibangun pada tahun 1980 spesifikasi jenis dagangan berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari logam, seperti ember, dandang, kompor minyak tanah dan lain-lain. Pada tahun 1989 para pedagang dipindahkan ke Pasar Kabangan karena Pasar Kadipolo tersebut akan digunakan untuk menampung pedagang dari Pasar Singosaren yang hendak dipindah karena Pasar Singosaren akan dijadikan pasar semi modern.

Pasar Kadipolo tidak lagi sebagai pasar yang menjual dagangan alat-alat kebutuhan rumah tangga dari logam tetapi menjadi pasar yang menjual aneka jenis kebutuhan sehari-hari.
Lokasi: Jl. Dr. Radjiman Penularan Laweyan Surakarta.

sumber : http://www.pasarsolo.com/pasar-tradisional/pasar-kadipolo-solo.html

Pasar Kadipolo Surakarta

Pasar Gede Tahun 1935
PASAR monumenal di Solo ini mulai dibangun Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Belanda, tahun 1927. Pada 12 Januari 1930, Pasar Gede, nama pasar ini, diresmikan oleh Paku Buwono X. Konon, pembangunan pasar monumenal ini menelan biaya sekitar 650.000 gulden pada masa itu –kini setara dengan Rp 2,47 miliar.

Pasar Gede adalah simbol harmonisasi antara lokal dan asing, yang diwakili oleh PB X selaku penggagas, dan Karsten sebagai eksekutor yang meski bukan orang Indonesia, tapi ternyata sangat menghargai budaya lokal. Hasilnya adalah arsitektur Indis yang dalam tataran filosofis arsitektural memberikan rasa ruang dan rasa tempat yang khas. Sebuah karya arsitektur yang nyaris sempurna secara tipologis, karena memperhatikan pendekatan rasional dan mempertimbangkan iklim budaya lokal.

Sebagai pasar tradisional, Pasar Gede awalnya bernama Pasar GedhĂ© Hardjonagoro, yang diambil dari nama cucu kepala Pasar GedhĂ© masa itu (1930), Go Tik Swan –keturunan Tionghoa namun mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari PB XII. Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah klenteng Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie di dekatnya yang tak jauh dari perkampungan warga keturunan Tionghoa (pecinan) yang bernama Balong yang letaknya di Kelurahan Sudiroprajan.

Itulah mengapa para pedagang sekalipun sekarang tidak dominan banyak yang merupakan keturunan etnis Tionghoa. Nama “gede” yang berarti besar, dipakai juga karena pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana. Dulu pasar ini sebagai mediator perdagangan bagi masyarakat Belanda-Cina-pribumi dengan harapan hubungan antar etnis yang semula berkonflik dapat berlangsung harmonis. Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya masyarakat Solo. Apalagi jika mengingat jejak sejarahnya, di mana pasar ini muncul dari embrio pasar candi yang berkarakter Candi Padurasa. Proses perubahan Pasar Candi berubah menjadi pasar ekonomi yang disebut “Pasar Gede Oprokan” yang digambarkan dengan payung-payung peneduh untuk kegiatan pasar.

Tentu saja, dulunya Pasar Gede hanya sebuah pasar kecil di area seluas sekitar 5.000 meter persegi di persimpangan jalan dari kantor gubernur (sekarang Balai Kota Surakarta). Diberi nama pasar gede karena terdiri dari atap yang besar. Di pasar inilah dulu distribusi barang dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta.

Tahun 1947, pasar ini mengalami akibat serbuan Belanda, dan direnovasi tahun 1949. Perbaikan atap selesai juga dilakukan tahun 1981. Kemudian pada 28 April 2000 pasar ini ludes dilalap api. Renovasi pun dilakukan dengan mempertahankan arsitektur asli, ketinggian aspek kultural dan historis yang berusaha dipertahankan dan akhirnya selesai di penghujung tahun 2001. Pemerintah indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.

Salah satu kecanggihan pasar ini adalah, turut memperhatikan keperluan penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi roda. Kondisi bangunan pasar ini jauh lebih beradab dari pasar pada umumnya. Betapa Karsten sudah mempertimbangkan atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya agar kondisi pasar tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi antar pedagang. Dengan bijak ia melakukan semacam pengamatan akan kebiasaan masyarakat pengguna dan mempelajari kebudayaan setempat. Tidak seperti kebanyakan arsitek Belanda yang justru terkesan memaksakan ide “Belanda” pada bangunan-bangunan di Indonesia.

Pasar Gede Tahun 1935

Pasar Geede Tahun 1935
 
sumber : Ganug Nugroho Adi - http://kabarsoloraya.com/2009/07/24/pasar-gede-harmonisasi-budaya-heritage-dan-segarnya-dawet-telasih/

Pasar Gede Surakarta

Nama Surakarta dikenal dengan nama lain Solo, terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Dulu Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang, 10 km di sebelah timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang menjadi Raja Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian Pakubuwono II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya, dan di tahun 1745  Kerajaan dibongkar dan diarak menuju Kota Surakarta yang terletak di tepi Kali (Sungai) Bengawan Solo. 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari kelahiran kota resmi.

Peta Kota Surakarta

Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16 /SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor histories sebelumya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.

Berikut ini adalah urutan Walikota yang pernah memimpin Kota Solo dari masa ke masa :
  1. Mr. ISKAQ TJOKROHADISOERJO (15 Juli 1946 s/d 14 November 1946)
  2. SJAMSOERIDJAL (14 November 1946 s/d 13 Januari 1949)
  3. SOEDJATMO SOEMOWERDOJO (24 Januari 1949 s/d 1 Mei 1950)
  4. SOEHARJO SOERJO PRANOTO (Juni 1949 s/d 1 Mei 1950)
  5. K. Ng. SOEBEKTI POESPONOTO (1 Mei 1950 s/d 1 Agustus 1951)
  6. MUHAMMAD SALEH WERDISASTRO (1 Agustus 1951 s/d 1 Oktober 1955 dan s/d 17 Pebruari 1958)
  7. OETOMO RAMELAN (17 Pebruari 1958 s/d 23 Oktober 1965)
  8. TH. J. SOEMANTHA (23 Oktober 1965 s/d 11 Januari 1968)
  9. R.KOESNANDAR (1968 s/d 1975)
  10. SOEMARI WONGSOPAWIRO (1975 s/d 1980)
  11. SOEKATMO PRAWIROHADISEBROTO, SH (1980 s/d 1985)
  12. H.R. HARTOMO ( 1985 s/d 1995)
  13. IMAM SOETOPO (1995 s/d 2000)
  14. SLAMET SURYANTO (2000 s/d 2005)
  15. Ir. H. JOKO WIDODO (2005 s/d sekarang)

Sumber :
Portal Informasi Kota Surakarta : http://www.surakarta.go.id
http://www.surakarta.go.id/konten/sejarah-kota
http://www.surakarta.go.id/konten/sejarah-pemerintahan
https://maps.google.co.id/

Nama Kota Solo