Pasar Gede Surakarta

No comments
Pasar Gede Tahun 1935
PASAR monumenal di Solo ini mulai dibangun Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Belanda, tahun 1927. Pada 12 Januari 1930, Pasar Gede, nama pasar ini, diresmikan oleh Paku Buwono X. Konon, pembangunan pasar monumenal ini menelan biaya sekitar 650.000 gulden pada masa itu –kini setara dengan Rp 2,47 miliar.

Pasar Gede adalah simbol harmonisasi antara lokal dan asing, yang diwakili oleh PB X selaku penggagas, dan Karsten sebagai eksekutor yang meski bukan orang Indonesia, tapi ternyata sangat menghargai budaya lokal. Hasilnya adalah arsitektur Indis yang dalam tataran filosofis arsitektural memberikan rasa ruang dan rasa tempat yang khas. Sebuah karya arsitektur yang nyaris sempurna secara tipologis, karena memperhatikan pendekatan rasional dan mempertimbangkan iklim budaya lokal.

Sebagai pasar tradisional, Pasar Gede awalnya bernama Pasar GedhĂ© Hardjonagoro, yang diambil dari nama cucu kepala Pasar GedhĂ© masa itu (1930), Go Tik Swan –keturunan Tionghoa namun mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari PB XII. Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah klenteng Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie di dekatnya yang tak jauh dari perkampungan warga keturunan Tionghoa (pecinan) yang bernama Balong yang letaknya di Kelurahan Sudiroprajan.

Itulah mengapa para pedagang sekalipun sekarang tidak dominan banyak yang merupakan keturunan etnis Tionghoa. Nama “gede” yang berarti besar, dipakai juga karena pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana. Dulu pasar ini sebagai mediator perdagangan bagi masyarakat Belanda-Cina-pribumi dengan harapan hubungan antar etnis yang semula berkonflik dapat berlangsung harmonis. Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya masyarakat Solo. Apalagi jika mengingat jejak sejarahnya, di mana pasar ini muncul dari embrio pasar candi yang berkarakter Candi Padurasa. Proses perubahan Pasar Candi berubah menjadi pasar ekonomi yang disebut “Pasar Gede Oprokan” yang digambarkan dengan payung-payung peneduh untuk kegiatan pasar.

Tentu saja, dulunya Pasar Gede hanya sebuah pasar kecil di area seluas sekitar 5.000 meter persegi di persimpangan jalan dari kantor gubernur (sekarang Balai Kota Surakarta). Diberi nama pasar gede karena terdiri dari atap yang besar. Di pasar inilah dulu distribusi barang dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta.

Tahun 1947, pasar ini mengalami akibat serbuan Belanda, dan direnovasi tahun 1949. Perbaikan atap selesai juga dilakukan tahun 1981. Kemudian pada 28 April 2000 pasar ini ludes dilalap api. Renovasi pun dilakukan dengan mempertahankan arsitektur asli, ketinggian aspek kultural dan historis yang berusaha dipertahankan dan akhirnya selesai di penghujung tahun 2001. Pemerintah indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.

Salah satu kecanggihan pasar ini adalah, turut memperhatikan keperluan penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi roda. Kondisi bangunan pasar ini jauh lebih beradab dari pasar pada umumnya. Betapa Karsten sudah mempertimbangkan atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya agar kondisi pasar tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi antar pedagang. Dengan bijak ia melakukan semacam pengamatan akan kebiasaan masyarakat pengguna dan mempelajari kebudayaan setempat. Tidak seperti kebanyakan arsitek Belanda yang justru terkesan memaksakan ide “Belanda” pada bangunan-bangunan di Indonesia.

Pasar Gede Tahun 1935

Pasar Geede Tahun 1935
 
sumber : Ganug Nugroho Adi - http://kabarsoloraya.com/2009/07/24/pasar-gede-harmonisasi-budaya-heritage-dan-segarnya-dawet-telasih/

No comments :

Post a Comment